Mengapa angka pengangguran bukannya naik?, ungkap Faishol Amir, S.Si. Koordinator Statistik Kecamatan, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Situbondo dalam kolom opini di harian cetak Jawa Pos Radar Banyuwangi terbitan Sabtu, 21 Januari 2017. Alumni Jurusan Matematika FMIPA Universitas Jember tahun 2009 bergabung di BPS sejak tahun 2011 setelah beberapa waktu sebelumnya meniti karir di bidang lembaga pendidikan. Kenapa bisa bergabung ke BPS?, karena sesuai visi, misi dan tujuan FMIPA yang diantaranya menyebutkan menghasilkan lulusan yang profesional di bidangnya. Perkuliahan di FMIPA sangat mendukung di dunia kerja, seperti statistika salah satu contohnya yang sangat menunjang Faishol Amir dalam menjalankan tugasnya di BPS Kabupaten Situbondo. “Ada anggapan kuliah di FMIPA, nanti lulusnya jadi apa?, Saya buktinya” ungkap mantan pengurus HMJ Matematika ini pada satu kesempatan. Pria kelahiran Sampang Madura ini mampu menunjukkan bahwa apa yang telah didapat saat di bangku kuliah, sangat cocok untuk diterapkan di beberapa bidang lapangan pekerjaan seperti BPS sebagai contohnya tempatnya kini mengabdi kepada negara.
Kembali ke opini cerdas dengan data? Faishol Amir yang dulu aktif di Ormawa FMIPA IONS (Organisasi Keagamaan di FMIPA) ini menuturkan bahwa naik turunnya angka pengangguran tidak secara otomatis dipengaruhi oleh cepat lambatnya pertumbuhan ekonomi. Pada wilayah dengan iklim ekonomi yang bagus dan tingkat pendidikan yang baik, saat terjadi kenaikan pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dengan indicator – indikator ekonomi yang membaik dan perluasan lapangan kerja, namun bisa jadi angka pengangguran meningkat. Karena kesempatan kerja yang luas namun tidak sesuai kualifikasi pendidikan atau juga tidak diminati oleh penduduk berpendidikan tinggi sehingga angka pengangguran pun tetap tinggi. Lain halnya dengan wilayah yang menjadi basis kantong kemiskinan dengan tingkat pendidikan rendah. Mereka pada umumnya akan berusaha bekerja mencari pekerjaan apapun walau serabutan. Jadi tumbuh lambatnya ekonomi tidak berpengaruh bagi mereka. Sehingga jika diamati dengan seksama, di wilayah-wilayah ini angka pengangguran cenderung rendah walaupun pertumbuhan ekonomi naik ataupun melambat.
Pertumbuhan ekonomi bukanlah indikator tunggal untuk menunjukkan baik-buruknya kinerja pemerintahan suatu wilayah” ujar peraih Koordinator Statistik Kecamatan (KSK) terbaik tingkat Nasional. Hal itu ditunjukkan dengan data berikut, dalam kurun waktu 5 tahun belakang ini, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur melambat. Namun IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Jawa Timur meningkat dari 65,36 pada tahun 2010 menjadi 68,95 pada tahun 2015 (BPS Jawa Timur). Selama periode tersebut, IPM Jawa Timur rata-rata tumbuh sebesar 1,07 persen per tahun. Artinya kualitas pembangunan manusia terus membaik dari tahun ke tahun. Jadi tidak ada korelasi yang tetap antara IPM dan pertumbuhan ekonomi. Kesimpulannya saat pertumbuhan ekonomi membaik, tidak pula harus diikuti dengan IPM yang naik, dan juga sebaliknya. Penjabaran diatas menggunakan hasil olah data dari BPS yang telah di analisa secara deskriptif oleh Faishol Amir.
Itu adalah salah satu dari beberapa indikator yang dijadikan acuan untuk mengasumsikan tentang kemiskinan maupun kesejahteraan masyarakat. “Kearifan, kehati-hatian dan kebijaksanaan dalam membaca data atau cerdas dengan data dibutuhkan agar tidak tersesat oleh informasi-informasi singkat yang melencengkan dan mengaburkan fakta dilapangan. Gunakan data sebagai cermin dengan benar agar tampak wajah nyata dan realita masyarakat dengan tepat” imbuh Alumni SMAN 1 Sampang ini. Jadi dalam menilai keberhasilan pengentasan kemiskinan dan memajukan kesejahteraan masyarakat, komponen pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk miskin tidaklah cukup. Ada indikator lain yang harus menjadi perhatian serius dalam memahami keberhasilan suatu pembangunan. (sumber: blog pribadi Faishol Amir, S.Si.)